ATONIA UTERI
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan
pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan
histerektomi peripartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk
mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan
mekanisme ini.(3,4)
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh
kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang
memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila
serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.(4)
A. DEFINISI
l Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah
Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus
uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta
; 2002)
B. ETIOLOGI
1. overdistention uterus seperti: gemeli,
makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi.
2.
Umur yang terlalu muda atau terlalu tua
3.
Multipara dengan jarak
keahiran pendek
4.
Partus lama / partus terlantar
5.
Malnutrisi
6.
Dapat juga karena salah penanganan dalam usaha melahirkan plasenta, sedangkan
sebenarnya belum terlepas dari uterus.
C.
MANIFESTASI KLINIS
Uterus tidak
berkontraksi dan lembek
Perdarahan segera
setelah anak lahir (post partum primer)
D. PENCEGAHAN
ATONIA UTERI
Pemberian
oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum
lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai
terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan,
anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan
utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan
tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti
ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri.
Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir.
Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per
liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog
sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai
uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin
merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40
menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV
dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.
E. MANAJEMEN ATONIA UTERI
1. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka
penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat,
monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi
oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk
persiapan transfusi darah.
2. Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual
akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan.
Pemijatan
fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik)
Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus
berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum /
vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera
Jika
uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviks
Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
Jika uterus berkontraksi,
teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan pantau kala
empat dengan ketat.
Jika uterus tidak
berkontraksi, maka : Anjurkan
keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2
mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran
16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama
secepat mungkin; Ulangi KBI
Jika uterus berkontraksi,
pantau ibu dengan seksama selama kala empat
Jika uterus tidak
berkontraksi maka rujuk segera
3. Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik
yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi
uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan
timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi
dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyababkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan
lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa
diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian
oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain
yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat merupakan
golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit
pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit
sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium
jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat
menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea
dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan
sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara
intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan
rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15
menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk
mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini
merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping
prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan
bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem
termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan,
berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini
menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan
kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius
penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari
beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi
perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan
84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri
maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi
perdarahan masif yang terjadi.
4. Uterine lavage dan Uterine Packing
Jika uterotonika gagal menghentikan
perdarahan, pemberian air panas ke dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat
untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C langsung ke
dalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh menghalangi vagina
untuk memberi jalan salin keluar.
Penggunaan uterine packing
saat ini tidak disukai dan masih kontroversial. Efeknya adalah hiperdistended
uterus dan sebagai tampon uterus.
Prinsipnya
adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan maksimum pada
dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi
dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan.
Uterine packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan
dan transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia
fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.
5. Operatif
Beberapa
penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan
80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping
uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi
dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini
diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai.
Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa
uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum
lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan
ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk
menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah
diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim.
Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa
uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus
mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan
cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus
berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
• Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi
bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus
dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter.
Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi
arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan
dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua
ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna.
Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan
sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko
ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan
perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu
dan kondisi pasien.
• Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga
dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai
tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat
atonia uteri.
• Histerektomi
Histerektomi peripartum
merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum
masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000
kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan
vaginal.
KOMPRESI
BIMANUAL UTERUS ATONI
Peralatan
: sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan dengan tangan
telanjang yang telah dicuci
Teknik :
Basuh
genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan tidak
diperlukan
1.
Eksplorasi dengan tangan kiri
Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina
1.
Tangan
kanan (luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap uterus
dari belakang atas
2.
Tangan
dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar
Ia tidak hanya menekan uterus, tetapi juga
meregang pembuluh darah aferen sehingga menyempitkan lumennya.
Kompresi
uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu 10-15 menit.
Biasanya
ia sangat baik mengontrol bahaya sementara dan sering menghentikan perdarahan
secara sempurna.
Bila
uterus refrakter oksitosin, dan perdarahan tidak berhenti setelah kompresi
bimanual, maka histerektomi tetap merupakan tindakan terakhir!
DAFTAR PUSTAKA
James R Scott, et al. Danforth buku
saku obstetric dan ginekologi. Alih bahasa TMA Chalik. Jakarta: Widya
Medika, 2002.
Obstetri fisiologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas
Kedokteran Unversitas Padjajaran Bandung, 1993.
Mochtar, Rustam. Sinopsis
obstetrik. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.
Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu
kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga berencana. Jakarta: EGC, 1998.
Bobak, Lowdermilk, Jensen. Buku
ajar keperawatan maternitas. Alih bahasa: Maria A. Wijayarini, Peter I.
Anugerah. Jakarta: EGC. 2004
Heller, Luz. Gawat darurat
ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H. Mochamad martoprawiro, Adji
Dharma. Jakarta: EGC, 1997.
No comments:
Post a Comment